Ada satu kecerdasan yang dipunyai oleh setiap manusia tetapi
jarang dikenali walau dia punya peran paling penting dan dominan di antara
kecerdasan lainnya di dalam kehidupan manusia. Sebab tanpanya maka manusia
tidak akan bisa berbuat banyak, tidak bisa berkembang potensinya, atau dengan
kata lain ‘hidup tetapi sesungguhnya mati’. Kecerdasan itu adalah Kecerdasan
Spiritual atau SQ (Spiritual Quotient).
Kecerdasan Spiritual SQ adalah salah satu Kecerdasan Bawaan
Manusia sebagai Anugerah Tuhan di samping PQ (Kecerdasan Phisik), IQ
(Kecerdasan Intelektual), dan EQ (Kecerdasan Emosional) yang banyak
dibicarakan, dan keempat kecerdasan SEIP-Q tersebut membentuk Sistem Akhlak
Manusia bagaikan gunung es. Kecerdasan Spiritual SQ yg satu ini jarang dikenali
dan dimanfaatkan oleh setiap pribadi karena dimensinya yang tidak kasat
akal-rasa, walaupun potensinya sangat luar biasa atau supra
rasio-emosional.
Sistem AkhlakKecerdasan
Spiritual merupakan satu-satunya Kecerdasan Bawaan manusia yang bersifat Ilahi
(tak terbatas dan langgeng), di samping kecerdasan bawaan lainnya yang bersifat
manusiawi (terbatas dan sementara). Dengan Kecerdasan Spiritual barulah
seseorang bisa disebut sebagai
Manusia
Pribadi Utuh yang mempunyai kecerdasan bawaan selengkap seperti yang Tuhan
anugerahkan. Firman Tuhan mengatakan bahwa Manusia Pribadi Utuh yang dilengkapi
oleh Kecerdasan Spiritual inilah yang mempunyai kemuliaan tertinggi dan bahkan
melebihi malaikat.
Pengertian
Kecerdasan Spiritual
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk spiritual, karena
selalu terdorong oleh kebutuhan akan pertanyaan mendasar atau pokok, antara
lain mengapa saya dilahirkan? apakah makna hidup saya? apa yang membuat sesuatu
itu berharga? Manusia diarahkan, bahkan ditentukan oleh suatu kerinduan yang
sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang diperbuat dan
dialami. Dibutuhkan suatu prinsip yang menghidupkan atau vital, hal yang
memberi kehidupan pada organisme fisik, dan bukan pada unsur materinya.
Covey (1990) mengemukakan ciri-ciri manusia yang merupakan
karunia Tuhan yang dibawa sejak lahir atau disebut dengan Human Endowments,
yaitu: (1) independent will, keinginan atau kemauan yang bebas yang
tumbuh dari dalam diri tanpa terpengaruh oleh lingkungan sekitar, seperti
kemauan anak balita yang menginginkan sesuatu; (2) self awareness
(rasa), kesadaran diri, tahu siapa diri, apa fungsi dan tujuan dalam hidup ini,
apa makna kehidupan bagi diri dan apa makna diri dalam kehidupan ini; (3) conscience
(karsa), suara hati, nurani, kalbu, yang selalu membisiki diri agar senantiasa
berbuat baik dan menghindari berbuat buruk; (4) creative imagination,
dilandasi visi jauh ke depan, mampu mengembangkan diri (personal development),
mempunyai kreativitas (tidak sekedar melakukan sesuatu karena orang lain telah
melakukannya). Dinamika dari keempat ciri tersebut terintegrasi secara lebih mendalam
melalui kecerdasan spiritual, sebagai salah satu konstruk kecerdasan manusia.
Wolman (2001) mendefinisikan makna spiritual sebagai berikut
: “Dengan spiritual saya maksudkan kerinduan dan pencarian manusia yang abadi
dan sudah ada sejak keberadaan manusia itu sendiri, untuk terhubung dengan
sesuatu yang lebih besar dan lebih dapat diandalkan daripada ego kita sendiri,
dengan kata lain, keterhubungan kita dengan jiwa kita, dengan sesama kita,
dengan kancah sejarah dan alam, dengan hembusan jiwa yang satu adanya, dan
dengan misteri kehidupan itu sendiri”. Spiritual merupakan galian terdalam dan
sumber dari karakter hidup.
Zohar & Marshall (2001) merumuskan kecerdasan spiritual
(berpikir unitif) sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Kecerdasan spiritual adalah sesuatu yang dipakai untuk mengembangkan kemampuan
dan kerinduan akan makna, visi, dan nilai. Mendasari hal-hal yang dipercaya dan
peran yang dimainkan oleh kepercayaan maupun nilai-nilai dalam tindakan yang
akan diambil. SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia. Indikasi-indikasi
kecerdasan spiritual ini adalah kemampuan untuk menghayati nilai dan
makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk
memandang segala sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari
jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya.
Zohar & Marshall (2001) mengemukakan bahwa spiritualitas
tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab
seorang humanis atau atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Kecerdasan
spiritualitas tidak selalu mutlak berkaitan dengan kecerdasan agama dalam versi
yang dibatasi oleh kepentingan pengertian manusia dan sudah menjadi terkavling-kavling
sedemikian rupa (e-Psikologi.com, 2000). Kecerdasan spiritual lebih berkaitan
dengan pencerahan jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu
memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah,
bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan
mampu membangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Ari Ginanjar (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual
sebagai kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan
bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Frankl (dalam Zohar & Marshall
2001) sebelumnya pada tahun 1938 telah mengembangkan pemikiran tentang upaya
pemaknaan hidup, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai: (1) nilai kreatif;
(2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia
akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yaitu
suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang
penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani, dituntut
tanggung jawab terhadap Tuhan, diri, dan manusia lainnya. Sofyan Willis (2005)
berpendapat bahwa menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab.
Sinetar (Sinetar, 2000, dalam Zohar & Marshall 2001)
menyampaikan definisi kecerdasan spiritual sebagai pikiran yang mendapat
inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, penghayatan ketuhanan
yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.
Covey (2005) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual
mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas. Kecerdasan
spiritual juga membantu mencerna dan memahami prinsip-prinsip sejati yang
merupakan bagian dari nurani kita, mendorong seseorang bekerja dengan ikhlas,
kebersihan orientasi dan tujuan. Kecerdasan spiritual membuat individu menjadi
benar-benar manusiawi dan juga memiliki arah dan tujuan pribadi yang kuat dan
benar.
Menurut Covey, nurani adalah kesadaran moral mengenai apa
yang baik dan yang buruk, dan dorongan untuk menggapai makna dan memberi
sumbangan nyata. Nurani adalah kekuatan yang mengarahkan dalam menggapai visi,
mendayagunakan disiplin dan gairah hidup. Nurani amat bertentangan dengan kehidupan
yang didominasi oleh ego atau ke-aku-an seseorang. Nurani merupakan sumber yang
dapat dijadikan inspirasi oleh individu dalam bertindak dan berpikir.
Schwartz
(1997) berpendapat bahwa keberhasilan tidak banyak ditentukan oleh ukuran besar
– kecil otak seseorang, melainkan banyak ditentukan oleh ukuran gagasan atau
pemikiran seseorang. Semakin digali dan diamati apa sebenarnya yang terdapat di
balik sebuah keberhasilan, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah kesuksesan
tergantung pada cara berpikir orang tersebut. Ada keajaiban di dalam pemikiran
besar.
Prinsip kecerdasan spiritual
Agustina (2001) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
a) Prinsip bintang (star prinsiple) berdasarkan iman kepada Allah SWT.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT. Semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
b) Prinsip malaikat (angel principle) berdasarkan iman kepada Malaikat.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
c) Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada rasul.
Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
d) Prinsip pembelajaran (learning principle) berdasarkan iman kepada kitab.
Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
e) Prinsip masa depan (visim principle) berdasarkan iman kepada hari akhir.
Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
f) Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada Qodlo dan Qodar
Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah.
Agustina (2001) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
a) Prinsip bintang (star prinsiple) berdasarkan iman kepada Allah SWT.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT. Semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
b) Prinsip malaikat (angel principle) berdasarkan iman kepada Malaikat.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
c) Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada rasul.
Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
d) Prinsip pembelajaran (learning principle) berdasarkan iman kepada kitab.
Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
e) Prinsip masa depan (visim principle) berdasarkan iman kepada hari akhir.
Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
f) Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada Qodlo dan Qodar
Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah.
Ciri-ciri
kecerdasan spiritual
Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001) sebagai berikut :
a. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
b. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
c. Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
d. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.
e. Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.
f. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
g. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.
Faktor-faktor yang mendukung kecerdasan spiritual
Menurut Sinetar (2001) otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Agustian (2003) adalah inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (tanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor kedua adalah drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan.
Zohar dan Marshall (2001) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu :
a. Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b. Titik Tuhan (God spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.
Aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual
Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu :
a. Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.
c. Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
d. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.
e. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.
Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001) sebagai berikut :
a. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
b. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
c. Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
d. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.
e. Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.
f. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
g. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.
Faktor-faktor yang mendukung kecerdasan spiritual
Menurut Sinetar (2001) otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Agustian (2003) adalah inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (tanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor kedua adalah drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan.
Zohar dan Marshall (2001) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu :
a. Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b. Titik Tuhan (God spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.
Aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual
Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu :
a. Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.
c. Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
d. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.
e. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.
Menguji SQ
Tanda-tanda
dari SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal – hal berikut :









Seseorang yang
tinggi SQ-nya juga cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian
yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang
lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya. Dengan
perkataan lain, seseorang yang memberi inspirasi kepada orang lain.
Zohar, Danah dan Ian Marshall.
SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung : Mizan. 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar